Poligami dan Monogami dalam Perspektif Hukum Islam
Poligami dan Monogami dalam Perspektif Hukum Islam, tulisan ini dibuat oleh Al-Ustadz Hasbi Habibi (Pegiat Kajian Keislaman).
Menikah merupakan salah satu Sunnah Rasulullah SAW yang tergolong penting. Bahkan Rasulullah pernah mengatakan akan mengeluarkan seseorang dari barisan umatnya jika membenci atau tidak mau untuk menikah (Lihat Hadits Ibnu Majah No. 1837).
Oleh sebab itu, dalam perspektif hukum Islam tidak ada yang namanya pemisahan diri dengan kelompok tertentu yang memiliki jenis kelamin yang berbeda. Dengan demikian, Islam sangat melarang adanya sesorang yang menghindar untuk menikah, baik itu laki atau perempuan yang dengan sengaja menghindar untuk dinikahi karena sebab-sebab tertentu, walau misalnya seorang wanita ingin tetap dalam kesucian.
Kata poligami acapkali dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. Bahkan realitasnya banyak di antara umat Islam yang kurang atau tidak mengerti sama sekali akan makna poligami yang sesungguhnya, sehingga menjadikan poligami hanya untuk melampiaskan kebutuhan seksual saja dan menghilangkan tujuan mulia yang ada di dalamnya.
Poligami ini memang sangat kontroversial, ada satu sisi menolak poligami dengan sandaran berbagai rujukan tafsir –khususnya tafsir ulama kontemporer, baik itu yang bersifat normatif, psikologis bahkan banyak pula yang mengaitkan dengan munculnya ketidakadilan gender.
Banyak pula penulis-penulis Barat yang menjustifikasi bahwa ajaran poligami ini awalnya bersumber dari agama Islam yang sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Kemudian di sisi lain, poligami ini malah menyeruak dan dikampanyekan karena mereka menganggap memiliki sandaran normatif yang jelas dan tegas. Kelompok yang pro tersebut memandang dengan adanya pembolehan tentang poligami ini bisa menjadi alternatif untuk mengurangi perselingkuhan dan prostitusi yang merajalela.
Konsep Poligami dalam Ilmu Fikih Islam
Konsep poligami (ta’addud al-zaujāt) dalam ilmu fikih secara umum dipahami sebagai seorang suami dalam waktu bersamaan yang mengumpulkan dua sampai empat istri. Namun jika dikaji lebih mendalam, sejak ribuan tahun silam, sebelum datangnya Islam poligami sudah menjadi tradisi yang dianggap wajar.
Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata “poli” dan “polus”, yang artinya banyak, dan kata “gemein” atau “gamos”, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak.
Dalam Islam, arti dari poligami adalah perkawinan yang dilakukan lebih dari satu dengan memiliki batasan yang telah ditentukan, yang pada umumnya dipahami sampai dengan empat wanita. Ada pula yang memahami bahwa poligami bisa sampai sembilan atau lebih. Akan tetapi, poligami dengan batasan sampai dengan empat istri ini lebih umum dipahami –salah satunya dengan dukungan dari sejarah, sebab Rasulullah Saw. melarang umatnya melakukan pernikahan lebih dari empat wanita.
Poligami tidaklah serta merta diperbolehkan dalam Islam. Hal ini karena Islam memiliki batasan dan syarat yang ketat kepada seorang yang hendak melakukan poligami, di antaranya boleh melakukan poligami sampai dengan empat istri apabila ia benar-benar mampu dalam berlaku adil terhadap istri-istrinya yang menyangkut persoalan nafkah, tempat tinggal dan pembagian waktu.
Islam menekankan dengan tegas, apabila dikhawatirkan untuk tidak bisa berlaku adil maka cukuplah dengan satu istri (Q.S. An-Nisa [4]:3). Maksud adil terhadap istri adalah sekadar yang dapat dilakukan oleh seseorang yang dapat berlaku adil, misalnya dalam soal membagi waktu dalam hal tertentu, nafkah, pakaian dan tempat tinggal.
Sebab Mengapa Rasulullah Poligami
Oleh karena itu, untuk bisa memahami dengan jelas maksud dan tujuan dari praktik poligami Rasulullah dapat dilihat dari persoalan atau sebab mengapa beliau berpoligami, di antaranya:
Pertama, Rasulullah diutus untuk menyebarkan kasih dan sayang kepada seluruh alam (Q.S. Al-Anbiya [21]:107). Kedua, Rasulullah diutus menjadi contoh suri tauladan untuk umat manusia (Q.S. Al-Ahzab [33]:21)
Ketiga, Rasulullah diutus untuk melindungi dan mengangkat martabat kaum wanita, anak-anak yatim, para ‘budak’, dan kaum tertindas lainnya (Q.S. An-Nisa [4]:127). Keempat, Rasulullah menyuruh umatnya berumah tangga untuk membentuk keluarga yang sejahtera, bahagia dan menumbuhkan generasi Islami yang kuat di masa depan. Bukan semata-mata untuk menyalurkan fitrah seksnya.
Dengan banyaknya wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. maka perlu pengkajian agar makna yang terkandung menjadi jelas dan dicontohkan secara nyata sesuai dengan makna kandungannya. Dengan mengetahui makna yang tersirat, maka jelas terlihat alasan-alasan dibalik praktik poligami dalam perspektif hukum Islam.
Praktek Poligami Tidak Berdasar Pada Kebutuhan Biologis
Praktik poligami Rasulullah SAW, secara jelas tidak berdasar pada kebutuhan biologis, atau hanya untuk mendapatkan keturunan. Dalam pernikahan Rasulullah, poligami yang beliau lakukan dengan mengawini perempuan yang sudah lanjut usia kecuali Aisyah r.a., dan juga poligami yang dilakukan bukan pada kondisi atau situasi yang normal, melainkan dalam situasi peperangan, perjuangan dan pengabdian yang tujuan utamanya untuk berdakwah dan menegakkan syiar Islam.
Poligami yang dilakukan Rasulullah bahkan lebih dari empat istri, dalam al-Qur’an juga secara tegas memberikan kekhususan dan pembatasan poligami Rasulullah, bukan untuk ditiru oleh umat Islam secara ‘sembarangan’. Dengan pembahasan holistik semacam ini kita bisa memahami praktek poligami Rasulullah secara lebih proporsional.
Dengan mengetahui sejarah poligami yang dilakukan Rasulullah Saw. beserta alasan serta tujuannya yang mempunyai prinsip mulia, secara jelas sangat jauh berbeda dengan poligami yang berkembang dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, yang melupakan unsur keadilan di dalamnya sebagai syarat utama dalam melakukan poligami, tetapi hanya mengedepankan pemenuhan nafsu biologis.
Firman Allah dalam Q.S. An-Nisā [4] ayat 3 yang menjadi dasar rujukan diperbolehkannya melakukan poligami menuai perbedaaan pendapat. Ulama yang pada umumnya memperbolehkan melakukan praktik poligami tidaklah cenderung memudah dalam hal praktiknya. Kebolehan tersebut mempunyai syarat yang sangat ketat.
Sedangkan yang cenderung melarang praktik poligami itu kebanyakan berasal dari interpretasi ulama-ulama kontemporer. Menurut mereka dalam Islam sesungguhnya menganut prinsip monogami dan melarang keras terjadinya poligami karena bersumber dari kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang memberikan status dan kedudukan lebih dominan kepada laki-laki.
Berikut perkataan ulama tafsir tentang tafsir ayat tersebut, antara lain:
Ibnu Katsir dalam menafsirkan Surat An-Nisa [4] ayat 3 mengutip perkataan Imam Asy-Syafi’i, yaitu: “Sunnah Rasulullah Saw. yang menjadi penjelasan bagi firman Allah sesungguhnya menunjukkan kepada tidak boleh bagi seseorang selain Rasulullah Saw menghimpun istri-istri lebih banyak dari empat orang”. Selanjutbya Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i ini merupakan jimak para ulama masa lalu kecuali pendapat yang diceritakan dari suatu kelompok Syi’ah yang membolehkan menghimpun istri-istri lebih banyak dari empat sampai dengan sembilan orang.”
Ayat tersebut bermakna bahwa apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim jika kamu menikahinya, maka nikahilah wanita merdeka satu sampai empat, atau ‘budak-budak’ perempuan yang kamu miliki.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa memang benar ayat tersebut secara khusus berbicara tentang perempuan yatim, namun secara hukum hal itu berlaku untuk seluruh perempuan (baik yatim dan tidak yatim). Pelajaran itu diambil dari keumuman lafaz, bukan dari kekhususan sebab (al-‘ibratu bi ‘umūm al-lafdz lā bi khusūs as-sabāb). Sehingga jelas bagi kita bahwa al-Qur’an memperbolehkan untuk poligami dengan syarat keadilan.
Al-Athar dalam bukunya ‘Ta’addud al-Zauzāt’ mencatat empat dampak negatif poligami. Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para istri.
Kedua, menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak dapat bersikap bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang lahir dari ibu yang berlainan sangat rawan perkelahian, permusuhan dan saling cemburu.
Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi. Bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk poligami, namun bukan mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan, maka yang akan menjadi korban akan lebih banyak.
Kesimpulannya, poligami adalah laki-laki memiliki istri lebih dari satu sampai empat orang. Dalam pandangan hukum Islam, poligami boleh dilakukan jika memenuhi syarat yang sudah jelas dalam al-Qur’an yaitu, mampu berlaku adil. Adil yang dimaksud di sini meliputi beberapa bagian, yaitu adil dalam pembagian waktu, adil dalam nafkah, adil dalam tempat tinggal dan adil dalam membiayai anak.