Maulid Nabi SAW: Ekspresi Kegembiraan dan Kesyukuran
Maulid Nabi SAW: Ekspresi Kegembiraan dan Kesyukuran tulisan ini dibuat oleh Al-Ustadz Hasbi Habibi (Pegiat Kajian Keislaman).
Saat ini telah memasuki bulan Rabi’ul Awwal 1445 H (Sunda: Mulud) tahun 2023. Pada bulan ini umat Islam akan diingatkan dengan peristiwa kelahiran Rasulullah Saw. Kecintaan umat Islam dalam menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad disikapi dengan berbagai macam kegiatan, salah satunya dengan memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw.
Kata “maulid” secara etimologis termasuk jenis kalimat isim muttasharif yang merupakan pecahan (musytaq) dari isim zaman berwazan maf’ilun. Kata ini berasal dari kata “wa-la-da”, fi’il-madhi. Kata ini digolongkan pada bab dua dalam at-tashrif al-fi’il dengan dibaca kasrah pada ‘ain fi’il al-mudhori’. Kata ini mengandung arti waktu dilahirkan. Jadi peringatan Maulid Nabi adalah peringatan atau perayaan waktu atau hari lahirnya Nabi Muhammad.
Peringatan Maulid Nabi ini yang biasa dirayakan pada 12 Rabi’ul Awwal sudah menjadi agenda nasional pada setiap tahunnya. Kalender Nasional pun mencetak merah pada tanggal tersebut. Seluruh tingkatan masyarakat dari kalangan paling tinggi, yaitu Istana sampai yang paling rendah sekalipun seperti Majelis Taklim mushalla mengadakan acara ini.
Baca juga: Poligami dan Monogami dalam Perspektif Hukum Islam
Pro Kontra Peringatan Maulid Nabi SAW
Namun dibalik meriah dan ramainya peringatan Maulid Nabi ini, kita juga tak bisa menutup mata bahwa tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang menentangnya. Bahkan mereka juga ramai sekali mempublikasikan pernyataan mereka tentang penolakan atas peringatan Maulid Nabi. Karena hal ini dianggap hal baru dalam Islam, sehingga sangat wajar jika pelaksanaannya dianggap bid’ah.
Kalangan yang tidak setuju dengan perayaan itu tidak segan-segan mengatakan bahwa ini adalah bid’ah dalam ibadah yang sudah jelas tidak dicontohkan di zaman Nabi Saw. dan tidak pula di abad pertama (khulafāur rāsyidin) sebagai generasi terbaik. Mereka juga beralasan bahwa perayaan ini dikhawatirkan akan menjadi ladang fitnah dengan bercampurnya wanita dan laki-laki.
Lalu bagaimanakah argumen bagi umat Islam yang memperbolehkan peringatan Maulid Nabi?
Memperingati Maulid Nabi merupakan ungkapan rasa gembira dan cinta kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara kecintaan kepada Nabi Saw. adalah amalan baik yang mutlak dianjurkan. Memang tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaan generasi awal kepada Nabi Saw., namun bentuk kecintaan ini memiliki beberapa cara dan pengungkapan yang berbeda.
Sebuah cara tidak bisa disebut ibadah jika dilihat dari inti pelaksanaannya karena hanya wasilah (sarana) yang diperbolehkan untuk digunakan. Seseorang boleh memilih sarana mana saja yang ia sukai untuk mengungkapkan kebahagiaan dan kesyukurannya itu selama tidak melanggar syariat.
Dalam riwayat juga disebutkan perayaan sahabat Nabi Saw. dengan adanya iqror (persetujuan) dari Nabi Saw. Diriwayatkan dari Buraidah ra, ia berkata:
“Suatu ketika Nabi Saw. pergi berperang. Lalu ketika pulang, seorang budak hitam mendatangi beliau lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah bernazar jika Allah Swt. membawamu pulang ke Madinah dalam keadaan selamat aku akan memainkan rebana ini dan bernyanyi di hadapanmu.” Lalu beliau menjawab: “Jika kau telah bernazar seperti itu maka lakukanlah. Namun jika kau tidak bernazar melakukannya maka jangan kau lakukan!” (H.R. Imam Ahmad dan at-Turmudzi).
Jika mengungkapkan rasa bahagia atas kedatangan Nabi Saw dari peperangan dalam keadaan selamat dengan menabuh rebana itu dibolehkan dan diakui oleh Nabi Saw. Maka mengungkapkan rasa bahagia atas kedatangan beliau ke dunia ini dengan kegiatan yang tidak bertentangan dengan syariat tentu dianjurkan.
Maulid Nabi Sudah Dilakukan Abad ke 4 dan Hijriah oleh Salafus-Shalih
Dalam masalah ini, para salafus-shalih sejak abad keempat dan kelima hijriyah telah memberi contoh dalam merayakan Maulid Nabi SAW. Mereka menghidupkan malam maulid dengan berbagai ibadah, seperti memberi jamuan makan, melantunkan ayat-ayat al-Quran, mendendangkan shalawat Nabi, dan membaca zikir. Para ulama seperti Jalaluddin as-Suyuti, Ibnu Dihyah al-Andalusi, dan Ibnu Hajar telah banyak meriwayatkan tentang amalan ini.
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Al-Mudaffar Abu Sa’id Kaukabri ibn Zainudin ibn Buktukin, seorang gubernur Irbil di Irak, salah seorang raja agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qosiyyun
pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). (Lihat kitab Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid).
Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
Versi Lain, Maulid Nabi SAW Dimulai Pada Masa Dinasti Daulah Fatimiyyah
Versi lain menyatakan bahwa perayaan Maulid ini dimulai pada masa Dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada akhir abad keempat Hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab al-A’yad wa Atsaruhā ‘ala al–Muslimin oleh Sulaiman bin Salim as-Suhaimi. Disebutkan bahwa para Khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, Asyura, Maulid Nabi Saw. bahkan termasuk Maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid Hasan dan Husein serta Maulid Fatimah.
Dalam hal ini, dulu ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 1505 M/ 911 H) tentang perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal bagaimana hukumnya menurut Syara’. Apakah terpuji atau tercela? Dan apakah orang yang melakukan diberi pahala ataukah tidak?
Beliau menjawab: “Menurut saya bahwa semula perayaan Maulid Nabi, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Quran dan kisah-kisah teladan Nabi sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya, kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah (hal baru yang dianggap baik). Orang yang melakukan diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi, menampakkan sukacita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Secara subtansi, peringatan Maulid ini adalah wujud ekspresi kegembiraan dan kesyukuran serta penghormatan kepada Rasulullah Saw., dengan cara menjunjung Nabi, mengenang, memuliakan dan mengikuti perilaku yang terpuji dari diri Rasulullah.
Sebagai kata penutup, bagi yang mengadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, ya adakan saja tanpa harus mengejek mereka yang tidak ikutan Maulid Nabi sebagai penolak sunnah atau tidak mencintai Nabi Saw. Bagi yang menentang perayaan ini pula tidak perlu susah payah terus membid’ahkan mereka yang merayakan. Toh yang merayakan Maulid Nabi ini juga dalam sejarahnya bukan orang-orang sembarang. Mereka dari kalangan ulama yang keilmuannya tidak bisa dipungkiri, begitupun yang menentang perayaan maulid ini pula orang berilmu. Jadi, dalam masalah ini jangan asal kita menyalahkan satu sama lain.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab!