Pemilu dan Golput dalam Yurisprudensi Islam
Pemilu dan Golput dalam Yurisprudensi Islam. Tulisan ini dibuat Al-Ustadz Hasbi Habibi (Pegiat Kajian Keislaman).
Sebentar lagi tanggal 14 Februari tahun 2024, masyarakat Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang acapkali disebut dengan “pesta demokrasi”. Penggunaan kata “pesta” dalam perhelatan akbar ini menunjukkan bahwa pemilu harus berkesan menyenangkan dan jauh dari hal yang menegangkan apalagi perselisihan.
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan syariat Islam, masyarakat Indonesia mempunyai aspirasi lain, yaitu Negara Pancasila, dan partai-partai politik yang ada berazaskan kebangsaan.
Penulis berpandangan bahwa demokrasi adalah sistem yang sejalan dengan ajaran Islam, sehingga tidak ada cara lain untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam selain dengan mengikutinya. Sehingga begitu penting untuk menggunakan dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya sarana politik yang ada, sekecil apapun peluangnya (mâ la yudraku kulluhu lâ tatruk kulluhu). Ruang ini telah tersedia di hadapan kita dan sangat mungkin untuk diikuti serta tidak ada faktor yang menghalanginya. Kaidah ushul fiqh yang juga dapat kita pegangi bersama adalah “mâ la yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjibun”.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengetengahkan perihal partai politik dan Pemilu dalam perspektif yurisprudensi Islam, dengan harapan agar umat Islam tidak apriori terhadap Pemilu dan juga tidak berlebihan atau terlalu percaya pada proses demokrasi sehingga tidak berhati-hati terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam.
Islam adalah agama yang komprehensif (syumûlliyah). Tidak ada suatu kasus apapun yang muncul dalam kehidupan manusia dari dulu hingga sekarang, kecuali pasti ada jawaban hukumnya, termasuk masalah partai politik dan Pemilu serta permasalahan lain yang berkaitan dengan itu.
Partai politik maupun Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan alat atau sarana untuk mengembalikan hak masyarakat dalam memilih pemimpin maupun memilih wakil rakyat yang nantinya akan berbicara menyampaikan kebijakannya; membela dan melindungi hak-hak masyarakat dari hal-hal yang merugikan. Oleh karena itu, partai politik dan Pemilu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam menyelenggarakan pemerintahan yang amanah sesuai dengan kehendak dan cita-cita rakyat.
Partai politik dan Pemilu dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, meskipun wakil-wakil rakyat tersebut mewakili kelompok atau partai tertentu, namun mereka mempunyai hak otoritatif untuk mengomunikasikan berbagai kepentingan masyarakat berdasarkan kesepakatan bersama melalui konstitusi. Saat ini, tidak ada cara lain untuk memilih pemimpin/wakil rakyat yang baik dan amanah selain melalui Pemilu. Hampir dapat dipastikan bahwa munculnya pemimpin yang berperangai buruk akan berujung pada terabaikannya hak-hak rakyat. Salah satu penyebab naiknya para pemimpin yang ‘buruk’ karena orang yang shalih (masyarakat yang berkepribadian baik) mengabaikan sarana Pemilu ini.
Baca juga: Demokrasi dan Nilai Pendidikan Politik dalam Islam
Konsep An-Niyâbah (Perwakilan) dalam Politik
Dalam teori yurisprudensi Islam dikenal konsep “an-niyâbah”. Konsep ini semula memang hanya terkenal dalam kehidupan sehari-hari (mu’amalah yaumiyyah), yang populer disebut “al-wikalah” (perwakilan), namun kemudian berkembang dan digunakan dalam urusan hukum dan politik (baca: kekuasaan). Dalam hal ini maka pengangkatan seseorang menjadi pemimpin memerlukan persetujuan ummat (masyarakat). Hal tersebut tidak akan diketahui dengan getaran hati an sich, tetapi harus dibuktikan melalui pemungutan suara. Maka masyarakat memerlukan lembaga formal untuk menjalankan pemungutan suara tersebut.
Jumlah masyarakat yang sangat banyak untuk mewakilkan pada seseorang yang dianggap amanah, maka konsep “an-niyâbah” merupakan jalan yang paling praktis. Inilah tujuan utama dari setiap pemerintahan dan kekuasaan yang ditentukan berdasarkan hasil pemilihan. Maka orang-orang yang terpilih menjadi pemimpin membutuhkan pihak yang dapat diajak berbicara, berkonsultasi dan bermusyawarah. Orang-orang inilah dalam Fiqih Islam (yurisprudensi Islam) disebut “Ahlul Halli Wal Aqdi”.
Salah satu bentuk pelaksanaan konstitusi yang merupakan rule of law adalah dengan diselenggarakannya Pemilihan Umum (Pemilu), maka Pemilu merupakan sesuatu yang “dharuri” yang tidak dapat dielakkan keberadaannya. Sehingga dalam keadaan tertentu “boleh”, bahkan bisa jadi “wajib” untuk mengambil bagian yang bermanfaat dan dianggap baik (maslahah) serta tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam konteks ini, Pemilu harus dijadikan sebagai sarana dalam mengubah kemungkaran yang bersifat global. Perintah Allah dalam al-Qur’an ada yang ditujukan kepada individu (fardli), tetapi banyak pula yang ditujukan kepada umat secara umum (ijtima’i). Nash al-Qur’an yang mengandung seruan yang ditujukan kepada umat secara keseluruhan, misalnya firman Allah SWT dalam Q.S. At-Taubah ayat 41, Q.S. al-Maidah ayat 38, Q.S. an-Nur ayat 2, dan Q.S. al-Anfal ayat 60.
Dalam ayat-ayat tersebut nampak bahwa seruan Allah SWT ditujukan kepada umat Islam secara keseluruhan. Namun dalam tataran aplikatifnya tidak mungkin melibatkan seluruh umat Islam secara langsung, maka munculah dalam konsep Fiqih Islam sebuah teori yang disebut “an-niyâbah” (perwakilan).
Nyoblos “Wajib” Golput “Haram”
Para ulama sepakat bahwa pokok-pokok tujuan syari’at Islam adalah hifdzu al-din (menjaga agama), hifdzu al-‘aql (menjaga akal), hifdzu al-nafs (menjaga jiwa), hifdzu al-‘aradli (menjaga kehormatan) dan hifdzu al-mâl (menjaga harta). Untuk menjaga lima hal tersebut mewajibkan adanya pemerintahan sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengatur ketertiban hidup masyarakat. Untuk masa sekarang tidak ada jalan lain (secara konstitusional) untuk memilih pemimpin yang amanah kecuali melalui Pemihan Umum.
Dalam konteks demikian, umat Islam tidak dapat menghindar untuk memilih pemimpin/ wakil rakyat agar aspirasi masyarakat tersalurkan secara sempurna. Dilihat dari sudut pandang demikian, maka hukum nyoblos bagi umat Islam Indonesia adalah “wajib” dan golput adalah “haram”.
Selanjutnya jika dirasakan bahwa dari hasil Pemilu ke Pemilu ternyata masih belum dapat mensejahterakan rakyat, maka penyebab hakikinya adalah bukan Pemilunya, tetapi boleh jadi oknum partai politik yang terpilihlah yang menjadi penyebabnya. Pemilu tetap merupakan sarana positif yang diperlukan. Andaikan para calon wakil rakyat yang terjaring oleh partai politik adalah orang-orang yang kurang baik (politikus yang dipertanyakan kredibilitasnya), maka keterlibatan umat Islam untuk memilih terhadap orang yang paling sedikit tidak baiknya (paling sedikit ‘busuk’nya) adalah wajib atas dasar kaidah ushul “ikhtar bi akhaffi dlaruraini”. Dari cara berpikir inilah, maka dengan pendekatan mafhum mukhâlafah disimpulkan bahwa “golput” adalah haram. Wallohu A’lam bi Ash-Showâb.