Politik Damai dan Menyejukkan
Politik damai dan menyejukkan. Tulisan ini dibuat Hasbi Habibi Pegiat Kajian Keagamaan di Ciamis.
Kematangan berpolitik dan berdemokrasi dapat diukur dari terwujudnya praktik politik yang beradab, damai, dan menyejukkan. Hal ini cukup menarik untuk mempercakapkan ihwal keniscayaan memunculkan spirit perdamaian dalam rangka membangun keIndonesiaan yang berkeadaban, terutama dalam menghadapi tahun politik 2024.
Dalam konteks ini, ajaran Islam dalam khitah kelahirannya mengingatkan tentang pentingnya umat manusia menjadikan ruh kedamaian rahmatan lil ‘alamin sebagai sumbu dalam beragama.
Dalam hal ini, agama sebagaimana asal katanya dari Sanskerta, bermakna ’tidak kacau’. Maka orang yang beragama harus berdiri di saf terdepan yang menghalau setiap kemungkinan upaya pemahaman umatnya yang hendak menjadikannya sekadar ‘atas nama’. Sehingga akan menjadi contradictio in terminis kalau agama jadi pemantik mencuatnya kekerasan dan angkara melalui narasi tafsir kebencian.
Islam itu sendiri artinya tidak saja berarti pasrah sebagai jantung religiositas, tapi juga etik imperatifnya menginjeksikan kesadaran agar para pemeluknya mampu memberikan keselamatan kepada semesta.
Jangan sampai nampak mengajarkan kedamaian tapi karib dengan kekerasan, memfatwakan sikap ramah tapi fakta yang berkembang kebanyakan menjadi pribadi pemarah, menyerukan politik adiluhung tapi realitanya malah menghalalkan segala cara, bahkan menampik segenap ujaran yang diutarakannya.
Baca juga: Pemilu dan Golput dalam Yurisprudensi Islam
Sebagaimana ‘iman’ secara harfiah berarti percaya, tetapi kewajiban susulannya adalah bagaimana kepercayaan itu menjadi ‘tenda’ tempat semua orang merasa aman berada di bawahnya. Sekaligus iman merasukkan keinsafan untuk bersikap amanah dalam seluruh hal kehidupan. Dalam hal ini, orang yang beragama harus mengeluarkan daya imajinatifnya dengan menyampaikan seruan perenial kedamaian dan dialog profetis batin yang mencerahkan.
Dalam hal ini, sekalipun keputusan pilihan politik berbeda, masyarakat tetap menjaga keharmonisan, saling menghormati, dan menguatkan toleransi. Dalam konteks ini, diperlukan pendidikan politik yang berkelanjutan agar masyarakat dapat mencapai kematangan berpolitik dan dapat merasakan politik yang damai.
Untuk itu, sesama anak bangsa hendaknya memiliki komitmen yang kuat untuk melestarikan nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme di tengah kemajemukan yang ada di masyarakat. Masyarakat boleh saja berbeda-beda pilihan politiknya (itu adalah hak), namun tidak perlu saling hina, saling caci, hujat menghujat dan memfitnah, sehingga menyebabkan terserabut semangat kebangsaan.
Baca juga: Demokrasi dan Nilai Pendidikan Politik dalam Islam
Saat ini tensi politik menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 tampaknya semakin tinggi. Terlebih sudah muncul nama Capres/Cawapres yang diusung oleh partai politik, muncul hujatan dari kelompok yang tidak suka pada Capres/Cawapres tersebut dengan berbagai dalih dan retorika. Ditambah lagi dengan berbagai hasil “survey” (walau acapkali hasilnya berbeda-beda) pada elektabilitas masing-masing Capres/Cawapres menambah tensi politik semakin tinggi.
Politik Damai Para Tokoh Pendiri Bangsa
Ingatlah, para tokoh pendiri bangsa ini sudah memberi teladan betapa indahnya bangsa yang plural ini manakala dikelola dengan semangat toleransi dan kebersamaan di tengah perbedaan. Perbedaan agama, budaya, etnis dan pilihhan politik adalah wajah bangsa Indonesia sejak dahulu. Toleransi dan kerukunan menjadi kata kunci merawat bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dan besar.
Tindakan intoleransi, provokasi dan ujaran kebencian merupakan musuh bersama karena akan merusak nilai-nilai kedamaian. Sejak dahulu para tokoh bangsa ini sudah bekerja keras menanamkan nilai-nilai persatuan dan kerukunan di tengah pluralitas yang ada. Bagaimana pun kerasnya perbedaan politik, nilai persatuan dan kerukunan harus tetap dijaga. Tokoh-tokoh bangsa ini, seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Syahrir. Selain itu, Mohammad Natsir telah memberi teladan, betapa pentingnya menjaga kerukunan dan kedamaian di tengah perbedaan yang ada. Mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok dan golongan menjadi esensi penting dalam komitmen mewujudkan pembangunan bangsa.
Patut direnungkan kembali pesan Mohammad Hatta tentang pentingnya kewaspadaan pada pengkhianat bangsa yang merusak persatuan dan toleransi di tengah perbedaan. Jangan sampai retorika yang disampaikan seolah mencintai bangsa ini, namun dalam realitanya berpotensi merusak persatuan dengan berbagai kegaduhan yang dibungkus dengan perbedaan kepentingan politik. Dengan kepentingan politik yang berbeda mereka menyebar ujaran kebencian dan provokasi yang sangat berbahaya bagi persatuan bangsa.
Terkadang karena faktor kebencian bisa membuat sesorang begitu mudah membuat pesan yang kasar dan sengaja membuat ujaran kebencian. Padahal dampak dari ujaran kebencian akan menimbulkan intoleransi yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Persoalan utama saat ini sesungguhnya dalam proses komunikasi politik, bagaimana mengikis rasa benci antar kelompok yang berbeda pilihan politik.
Di tengah perbedaan yang ada, sejatinya komunikasi tetap dijaga dengan kesejukan dan kedamaian. Sekali lagi, jangan karena perbedaan pilihan politik membuat kita saling hujat dan fitnah sesama anak bangsa. Selain itu, jangan menyeret anak bangsa pada kekisruhan dan melemparkan pada limbo ‘peradaban batu’.